"Kemenangan kita diperoleh dengan lebih mudah berdasarkan kenyataan bahwa dalam hubungan dengan mereka yang kita inginkan, kita selalu bekerja pada simpul-simpul yang paling peka pada pikiran manusia, pada rekening tunai, pada nafsu manusia, pada ketidak-puasan manusia akan kebutuhan materiel; pada setiap kelemahan manusiawi ini, ia sudah cukup untuk melumpuhkan prakarsa, karena ia menyerahkan kemauan manusia kepada disposisi dia yang telah membeli kegiatan kegiatannya".
('Protokol yang Pertama')
IMF dan Bank Dunia
IMF (the lnternational Monetery Fund) dan Bank Dunia adalah lembaga dana moneter intemasional yang dalam missinya disebutkan untuk memberikan bantuan kepada negara-negara yang tengah mengalami kesulitan likuiditas keuangan atau menghadapi masalah moneter. Dalam kenyataannya IMF, dan Bank Dunia, yang saham mayoritasnya sebesar 51 % dikuasai oleh departemen keuangan Amerika Serikat.
John Reed, CEO Citigroup dan Sandy Weil, CEO Traveler’s Group., mengucapkan selamat datang kepada Robert Rubin, mantan menteri keuangan di era presiden BillClinton. Rubin bergabung dengan Citigroup pada bulan Oktober 1999
Yang telah kita ketahui ialah bagian terbesar dari saham the Fed dikuasai oleh para bankir raksasa Yahudi. Dengan uang-kertas dolar yang ongkos cetaknya, tidak peduli berapa pun nilai denominasinya di lembaran itu, hanyalah 3 sen dolar per lembar, praktis the Fed memiliki kekuasaan atas keuangan dunia hampir-hampir tanpa biaya. Meski ada beberapa kekeliruan pandangan tentang IMF dan Bank Dunia, tetapi tidak dapat disangkal bahwa keduanya, baik IMF maupun Bank Dunia, merupakan dua instrumen kekuasaan yang digunakan oleh Barat (baca : kelompok Zionis) untuk menghancurkan negara-negara yang berdaulat agar menjadi tidak lebih daripada sekedar teritori (ekonomi-keuangan) mereka, yang pada gilirannya akan kehilangan kedaulatan politik mereka.
Tatkala suatu missi IMF memasuki suatu negara, mereka sebenarnya tidak lain menjalankan rancangan untuk penghancuran lembaga-lembaga sosial-ekonomi di balik dalih persyaratan untuk meminjamkan uang. Menurut Joseph Stiglitz, mantan Kepala Tim Ekonom Bank Dunia, IMF biasanya mengembangkan program empat langkah.
Langkah pertama adalah program' Privatisasi' , yang menurut Stiglitz lebih tepat disebut dengan nama program 'Penyuapan'. Pada program ini perusahaan-perusahaan milik negara penerima bantuan IMF harus dijual kepada swasta dengan alasan untuk mendapatkan dana tunai segar. Pada tahapan ini menurut Stiglitz, "Kita bisa melihat bagaimana mata para pejabat keuangan di negara penerima bantuan itu terbelalak, tatkala mengetahui prospek 'pemberian' 10% komisi beberapa milyar dolar yang akan dibayarkan langsung ke rekening pribadi yang bersangkutan di suatu bank Swiss, yang diambilkan dari harga penjualan aset nasional mereka tadi".
Sebagai contoh, dimana pemerintah Amerika Serikat (harap dicatat departemen luar negeri, departemen pertahanan, dan departemen keuangan, sepenuhnya dikuasai oleh orang-orang Yahudi), terlibat dalam kasus "penyuapan" terbesar yang pernah ada, pada program "privatisasi" di Rusia pada tahun 1995, ketika pemerintah Amerika Serikat (Yahudi) menghendaki Yeltsin terpilih lagi. "Kami tidak peduli kalau pemilihan itu adalah pemilihan yang korup. Kami ingin uang itu sampai ke tangan Yeltsin melalui 'bawah-meja' untuk keperluan kampanyenya". Yang paling menyakitkan hati bagi Stiglitz bahwa oligarchie Rusia yang didukung oleh Amerika Serikat itu menyapu habis aset industri BUMN Rusia dengan akibat, korupsi tersebul memotong pendapatan nasional Rusia tinggal hampir separuhnya saja yang menyebabkan depresi ekonomi dan kelaparan.
Sesudah program "penyuapan" itu langkah kedua IMF/Bank Dunia adalah rencana "satu-ukuran-(yang) pas - untuk menyelamatkan ekonomi anda" ('all size - economic solution '), yaitu "Liberalisasi Pasar Modal". Dalam teorinya deregulasi pasar modal memungkinkan modal investasi mengalir keluar-masuk. Namun, dengan ditingkatkannya pemasukan modal investasi dari luar, pada gilirannya akan menyebabkan pengurasan cadangan devisa negara yang bersangkutan untuk mendatangkan aset melalui impor dari negara-negara yang ditunjuk oleh IMP. Malangnya lagi, dalam kasus Indonesia dan Brazil, lagi-lagi menurut Stiglitz, modal itu hanya keluar dan keluar, tidak pernah balik.
Stiglitz menyebut program "privatisasi" ini sebagai daur "uang panas". Dana tunai dari luar masuk untuk spekulasi di bidang real-estate dan valuta, kemudian hengkang bila ada tanda-tanda akan ada kerusuhan. Akibat dari yang pertama di atas dan kedua ini, cadangan devisa negara bisa habis menguap dalam ukuran hari, bahkan jam. Dan bilamana hal itu sampai terjadi, maka untuk merayu kaum spekulan untuk mau mengembalikan dana modal nasional, IMF menuntut negara-negara debetor ini menaikkan suku-bunga banknya menjadi 30%, 50%, hahkan 80%. Ketetapan itu diikuti dengan persyaratan kebijakan deregulasi peraturan perbankan, diberlakukannya kebijakan uang ketat ('austerity policies'), dihentikannya subsidi pada bidang-bidang yang berkaitan dengan kebutuhan sosial-ekonomi masyarakat. Pada negara-negara yang sedang berkembang, dimana program pcmbangunan bagian terbesar masih menjadi tanggung-jawab negara, pemberlakuan politik uang ketat berdampak buruk terhadap kehidupan sektor riel. Penghentian subsidi terhadap sektor strategis seperti pangan, bahan bakar, transportasi, pendidikan, dan sebagainya selalu berakhir dengan krisis politik di negara-negara yang bersangkutan.
"Hasilnya bisa diprediksi", kata Stiglitz mengomentari tentang gelombang pasang uang panas di Asia dan Amerika Latin. "Suku bunga yang tinggi menghancurkan nilai properti, memangsa produksi industri, dan mengeringkan dana nasional".
Pemasukan modal investasi dari luar, meskipun tampaknya membantu untuk memperluas kesempatan kerja, dalam kenyataannya persyaratan itu telah membunuh usaha bumiputera setempat, yang pada gilirannya jatuh bergelimpangan, karena belum mampu bersaing khususnya untuk pemasaran. Acapkali kebijakan seperti itu berakibat dengan penutupan pabrik-pabrik, karena pemerintah tuan-rumah dan sektor swasta domestik tidak cukup memiliki modal. Contoh paling mutakhir adalah bangkrutnya ekonomi Argentina pada bulan Januari 2002 yang menimbulkan situasi kekacauan politik dan sosial.
Pada tahapan ini IMF menarik negara debetor yang tengah megap-megap itu ke langkah ketiga, yaitu "Pricing - Penentuan Harga Sesuai Pasar", sebuah istilah yang muluk untuk program menaikkan harga komoditas strategis seperti pangan, air bersih, dan BBM. Tahapan ini sudah dapat diprediksi akan menuju ke langkah tiga-setengah, yaitu apa yang dinamakan oleh Stiglitz, "Kerusuhan IMF".
"Kerusuhan hasil ciptaan IMF" itu sudah bisa diprediksikan dan sangat menyakitkan hati. Tatkala suatu negara sudah jatuh pingsan (IMF) akan mengambil keuntungan dan memeras sampai tetes darah terakhir yang masih ada pada negara debetor. Suhu akan terus meningkat, dan pada saatnya ketel itu meledak", seperti halnya ketika IMF, menurut Stiglitz, mengharuskan menghapus subsidi untuk beras dan BBM bagi kaum miskin di Indonesia pada tahun 1998. Indonesia meledak dengan kerusuhan. Dan masih ada contoh kasus lain - kerusuhan di Bolivia, sehubungan dengan kenaikan tarif air bersih pada tahun 2001, dan pada bulan Februari 2002 kerusuhan di Ekuador karena kenaikan harga gas dapur yang diperintahkan oleh Bank Dunia. Kesan yang ada ialah kerusuhan itu memang direncanakan.
Dan memang begitu. Apa yang tidak diketahui Stiglitz, bahwa BBC dan koran the Observer, London, berhasil memperoleh beberapa dokumen dari kalangan dalam Bank Dunia, yang diberi cap 'Confidential', 'Restricted', dan 'Not to be Disclosed'. Salah satu di antara dokumen-dokumen itu adalah apa yang disebut 'Interim Country Assistance Strategy' ('Strategi Bantuan Sementara') untuk Ekuador. Di dalam dokumen itu Bank Dunia beberapa kali menjelaskan - dengan ketepatan yang mendirikan bulu roma - bahwa mereka mengharapkan rencana mereka akan menyalakan "kerusuhan sosial", begitu istilah birokrasi terhadap negara yang terbakar.
Hal itu tidak perlu membuat kaget. Laporan rahasia itu mencatat, rencana itu dimaksudkan agar nilai mata-uang Ekuador dengan dolar Amerika akan mendorong 51 % dari penduduk Ekuador agar berada di bawah garis kemiskinan. Rencana "Bantuan" Bank Dunia di dalam laporan itu semata-mata menyeru untuk "meredakan tuntutan dan penderitaan rakyat" dengan "penyelesaian politik" -tanpa menyinggung aspek ekonomi dan harga-harga yang kian melambung
"Kerusuhan IMF" (yang dimaksudkan dengan 'kerusuhan' disini ialah demonstrasi damai yang dibubarkan dengan gas air-mata, peluru, dan tank), menyebabkan panik baru yang berakibat dengan pelarian modal ('capital flight') dan kebangkrutan pemerintah setempat. Kebakaran ekonomi ini mempunyai sisi terangnya - untuk perusahaan perusahaan asing, yang yang mendapatkan kesempatan menyabet sisa aset negara yang sedang kacau-balau itu, seperti konsesi pertambangan, perbankan, perkebunan, dan lain sebagainya dengan harga obral-besar-besaran. Contoh ini terlihat pada kepanikan pemerintah Indonesia yang melakukan "divestasi" degan harga obral-obralan pada BCA ('Bank Central Asia'), bank paling berhasil di Indonesia, pabrik semen, perkebunan kelapa sawlt, bisnis telekomunikasi, dan sebagainya, yang kesemuanya sebenamya merupakan "tambang emas" ('money-machines') bagi Indonesia.
Stiglitz mencatat bahwa IMF dan Bank Dunia bukanlah penganut yang tidak punya perasaan terhadap ekonomi pasar. Pada waktu yang sama IMF menghentikan Indonesia untuk memberi subsidi pangan. Menurut IMF, "ketika bank-bank membutuhkan bail-out, intervensi (terhadap pasar) dapat diterima". IMF menumpahkan berpuluh milyar dolar untuk menyelamatkan para finansier Indonesia dengan tambahan pinjaman dana dari bank-bank Amenka dan Eropa.
Suatu pola muncul. Dalam sistem ini banyak yang rugi, tetapi ada satu pemenang : yaitu, bank-bank Barat dan departemen keuangan Amerika Serikat, yang menghasilkan keuntungan besar dari celengan modal internasional ini. Stiglitz menceriterakan pengalaman pertemuan pertamanya, ketika baru menjabat di Bank Dunia, dengan presiden baru Etiopia dalam rangka pemilihan umum demokratis yang pertama di negeri itu.
Bank Dunia dan IMF menginstruksikan Etiopia untuk mengalihkan uang bantuan ke rekening cadangannya di departemen keuangan Amerika Serikat, yang akan memberikan bunga 4%, sementara Etiopia meminjam kepada Amerika Serikat dengan bunga 12% untuk memberi makan rakyatnya. Presiden Etiopia yang baru memohon kepada Stiglitz agar uang bantuan itu dapat digunakan sendiri untuk membangun negerinya. Tetapi tidak, uang hasil rampokan itu langsung masuk ke kas departemen keuangan Amerika Serikat di Washington.
Kini kita sampai ke tahap keempat yang oleh IMF dan Bank Dunia diberi nama "Strategi Pengentasan Kemiskinan": yaitu, Pasar Bebas. Yang dimaksud ialah 'pasar bebas' berdasarkan aturan dari WTO ('World Trade Organization' - Organisasi Perdagangan Dunia') dan Bank Dunia. Stiglitz, orang dalam Bank Dunia itu menyamakan 'pasar bebas' dengan 'perang candu'. "Konsep itu bertujuan membuka pasar", katanya. "Persis seperti halnya pada abad ke-19, negara-negara Barat dan Amerika Serikat menghancurkan rintangan yang ada bagi perdagangan di Cina. Sekarang hal yang sama dilakukan untuk membuka pasar agar mereka dapat berdagang di Asia, Amerika Latin dan Afrika, sementara negara-negara Barat itu memasang tembok yang tinggi terhadap impor hasil pertanian dan produk manufaktur dari Dunia Ketiga".
Sebagai akibat program' pasar-bebas'. Para pengusaha kapitalis lokal terpaksa meminjam pada suku-bunga sampai 60 % dari bank lokal dan mereka harus bersaing dengan barang-barang impor dari Amerika Serikat atau Eropa, dimana suku-bunga berkisar tidak lebih dari antara 6 - 7 %. Program semacam ini berakibat mematikan kaum kapitalis lokal
Dalam 'Perang Candu', negara-negara Barat mengerahkan blokade militer untuk memaksa Cina membuka pasamya bagi perdagangan mereka yang tidak seimbang. Sekarang Bank Dunia dapat memerintahkan blokade keuangan, yang sama efektifnya seperti pada 'Perang Candu' - dan sarna mematikannya.
Stiglitz khususnya sangat emosional ketika membahas tentang pcrjanjian hak-hak intelektual (dalam bahasa Inggeris disingkat dcngan TRIPS). Menurut mantan Ketua Tim Ekonom Bank Dunia itu, 'Tata Dunia Baru' ('Novus Ordo Seclorum') itu pada telah "menjatuhkan vonis hukuman mati kepada rakyat sedunia", dengan cara memberlakukan tarif dan "upeti" yang tidak masuk akal yang harus dibayarkan kepada perusahaan obat-obatan yang punya merk. "Mereka tidak peduli", kata profesor yang bekerja-sama dl bidang urusan kredit bank dengan perusahaan-perusahaan obat-obatan itu, "apakah orang akan hidup atau mati".
Sebagian besar publik, terutama pemerintahan negara-negara di Dunia Ketiga masih memandang IMF dan Bank Dunia sebagai lembaga dengan wajah yang manusiawi, seperti yang dinyatakan dalam charter-nya, "turut-serta dalam upaya menghapuskan kemiskinan". Dalam kenyataannya, IMF lebih sukses berperan dalam menciptakan kemiskinan negara-negara yang sedang berkembang, ketimbang mengatasi kemiskinan yang mereka derita. Kalau ada yang menyangka ada konflik antara keduanya, antara IMF dan Bank Dunia, maka perkiraan itu keliru sekali.
Harap disini jangan sampai dibuat bingung ketika terjadi campur-aduk dalam pembicaraan mengnai IMF, Bank Dunia, dan WTO.
Lembaga-Iembaga itu sebenamya tidak lain hanyalah topeng yang dapat dipertukarkan yang berasal dari suatu sistem kekuasaan yang tunggal, kaum Zionis, sesuai keperluannya. Mereka terhubung satu dengan lainnya melalui suatu sistem yang mereka sebut "pemicu".
Ketika suatu negara memohon kredit kepada Bank Dunia untuk keperluan pendidikan, misalnya, maka permohonan tadi akan "memicu" suatu kebutuhan untuk menerima 'persyaratan' apa pun - yang mereka tetapkan rata-rata sebanyak 111 poin untuk setiap negara - yang ditetapkan secara sepihak oleh Bank Dunia dan IMF. Menurut Stiglitz, "IMF mengharuskan negara debitur menerima kebijakan perdagangan yang lebih bersifat punitif ketimbang aturan-aturan dari WTO".1
IMF dan Bank Dunia memang mempunyai misi yang sarna di Dunia Ketiga. Kenyataannya sederhana: Wall Street berdiri di belakang kedua lembaga ini. Mereka dijalankan oleh para bankir, umumnya bankir Yahudi. Harus diingat, mereka adalah pebisnis uang dan profiteur, bukan sosiolog anthropolog, apalagi kaum philanthropis.
Selain itu yang tidak banyak disadari orang ialah 'pasar bebas' pada hakekatnya adalah saudara kandung dari perang. Yang lebih penting lagi, masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya gagal melihat hubungan erat antara gagasan pasar-bebas dengan kepentingan negara-neganl Barat. Misalnya, sedikit sekali organisasi yang mengkritik lembaga-lembaga produk Bretton Woods itu, dibandingkan dengan suara yang menentang serangan Amerika Serikat terhadap Afghanistan, misalnya mereka tidak menyuarakannya di Seattle (ketika konperensi APEC), dan juga tidak melakukannya di Washington, DC.
Mereka berkampanye menentang 'pasar bebas', menentang IMF, dan memihak kepada kampanye Jubilee untuk menghapus hutang Dunia Ketiga, tetapi tidak terhadap peperangan. 'Pasar bebas' dan perang berjalan bergandengan tangan. Sarna seperti halnya negara-negara Barat, seperti dikatakan Stiglitz di atas tadi, pada abad ke-19 memaksa Cina melakukan "perdagangan bebas opium", dan hal itu masih berlaku sekarang. Kalau dalam abad ke-19 negara-negara Barat mengeluarkan dalih "memberantas perompakan di laut" untuk menutup-nutupi agenda kolonialisme dan imperialisme mereka, dewasa ini Amerika Serikat berdalih "memerangi terorisme internasional" untuk mendapatkan konsesi pemasangan pipa minyaknya melalui wilayah Afghanistan.
Koordinasi antara negara-negara Barat dengan 'pasar-bebas' sangat jelas. Bisa dilihat contoh di Kosovo. IMF dan Bank Dunia telah merancang rencana ekonomi pasca-perang, termasuk 'pasar-bebas', bahkan jauh hari sebelum jatuhnya born pertama. Keduanya bergandengan tangan. Jika suatu negara menolak intervensi IMF, maka negara-negara Barat, dengan intervensi politik atau mengerahkan berbagai badan-badan rahasia dan kegiatan subversif, akan masuk. Tugas mereka menciptakan iklim yang kondusif bagi program-program IMF dan negara-negara Barat (baca: Zionis) untuk akhirnya dapat dilaksanakan di negara-negara tersebut. Negara seperti lndonesia menjadi contoh betapa program pinjaman hutang IMF makin menambah krisis yang memang sudah parah.
Negara-negara yang menerima apa yang disebut dengan nama "bantuan pinjaman" IMF, seperti Bulgaria dan Romania, termasuk Indonesia, mungkin tidak mendapatkan 'carpet bombing', tetapi mereka dihancurkan hanya dengan satu goresan pena. Bahasa badan tidak dapat menutup-nutupi pikiran yang ada di benak seseorang. Tentang hal itu, menarik memperhatikan keangkuhan gaya Camdessus, direktur eksekutif IMF untuk Asia-Pasifik, ketika ia menyaksikan presiden Republik Indonesia, Soeharto, terpaksa menanda-tangani Memorandum of Understanding dalam rangka memohon bantuan pinjaman IMF untuk Indonesia pada tahun 1998. Memorandum itu ternyata merupakan awal dari agenda penghancuran ekonomi Indonesia yang memang sudah terpuruk. Di Bulgaria IMF melakukan reformasi yang sangat drastis. IMF menghancurkan kondisi sosial : pensiun dipotong, pabrik-pabrik terpaksa ditutup, ada barang-barang produk pabrik yang di-dumping, penghapusan subsidi perawatan kesehatan dan subsidi transportasi secara cuma-cuma bagi rakyat, dan sebagainya.
Keprihatinan Stiglitz tentang rencana-rencana dari IMF dan Bank Dunia yang dirumuskan secara rahasia dan didorong oleh suatu ideologi dari kaum absolutis, dan yang tidak membuka peluang untuk diskusi atau penolakan. Meski negara-negara Barat mendorong pemilihan umum di seluruh negara-negara yang sedang berkembang, apa yang mereka sebut "Program Pengentasan Kemiskinan" sebenamya "merongrong demokrasi".
Dan program itu temyata tidak jalan. Produktivitas negara-negara Afrika Hitam di bawah bimbingan tangan "bantuan" struktural, IMF gagal total dan programnya hancur berantakan. Apakah ada negara-negara debitur yang mampu menghindari malapetaka ini ? "Ada", kata Stiglitz seraya menunjuk Botswana. Apa yang mereka lakukan? "Mereka menghardik IMF untuk berkemas-kemas meninggalkan negeri itu".
Lalu bagaimana cara membantu negara-negara yang sedang berkembang itu. Stiglitz mengusulkan adanya rencana land-reform yang radikal, serangan langsung ke jantung "pertuan-tanahan", pada harga sewa yang keterlaluan, yang dikenakan oleh oligarki pemilik tanah di seluruh dunia, lazimnya tidak kurang dari 50% dari hasil panen dari si penyewa tanah (sistem "paron").
Sebagai salah seorang mantan pejabat tinggi di Bank Dunia, apakah gagasan ini pemah diusulkan oleh Stiglitz? Kalau anda menantang (kepemilikan tanah), hal itu niscaya akan menimbulkan perubahan pada elit yang berkuasa. Karenanya, soal itu tidak masuk prioritas utama mereka". Setiap kali solusi dengan konsep 'pasar bebas' menemui kegagalan, menurut Stiglitz, IMF tidak lain hanya menuntut kebijakan "pasar yang lebih bebas".
"Halnya sama dengan di masa Abad Pertengahan", kata Stiglitz. "Tatkala sang pasien meninggal, mereka berkata, 'Ia terlalu banyak kehilangan darah, sebenarnya darahnya masih ada sedikit di tubuhnya'
Pembentukan Tata Dunia Baru (Novus Ordo Secrolum) Melalui Kekuasaan Keuangan
Diposting oleh
Luciferi Shit
Jumat, 23 Januari 2009
Label: bulan perang
0 komentar:
Posting Komentar